Sebuah Taujih Dari Asy Syahid Sayyid Quthb
Ikhwahfillah
rahimakumullah, hidup ini adalah sebuah jalan dimana kita akan
dihadapkan oleh banyaknya tantangan dan godaan terhadap tauhid kita.
Manusia diciptakan dengan penuh kelalaian lagi kehinaan. Ia bersimpul
dalam diri kita. Mengakar kuat dalam ulu hati. Manusia-manusia Rabbani
yang menjadikan tauhid sebagai esensi dalam dirinya kemudian harus sadar
bahwa hanya kepadaNyalah kelemahan itu akan tertutupi jika kita
senantiasa berpegang kepada tali buhul yang tak akan putus, yakni tali
tauhid untuk hanya mengamba di jalan Allahuta'la.
Ikhwahfilah
rahimakumullah, Asy Syahid Sayyid Quthb pernah menggariskan, bahwa
dakwah pasti akan mengalami benturan, dimana kekuatan Al Haqq akan
berkonfrontasi dengan Al Bathil. Di sini, Islam tidak bisa mengambil
jalan damai, meletakkan Kebenaran untuk berkompromi dg kebathilan.
Memadukan thesa dan anthithesa antara Islam dengan kejahiliyahan.
Simpul-simpul Rabbani itu justru akan menguat seiring Islam lebih
memilih untuk tunduk di jalan Kemuliaan, dan mengacuhkan nikmat
hina-dina itu.
Fitnah
kemenangan akhir zaman inilah yang mesti betul-betul diwaspadai oleh
aktifis dakwah. Ia sesuai dengan bagaimana Rasulullah SAW bersabda,“Sesungguhnya
di kalangan kamu nanti akan tertanam kemauan besar kedudukan (politik)
dalam kerajaan. Sesungguhnya yang demikian itu akan menjadikan kamu
menyesal dan susah pada Hari Kiamat; Sebaik-baik ibu adalah yang mau
menyusui anak (artinya sebaik-baik pemimpin adalah yang memperhatikan
kepentingan rakyat), dan seburuk-buruk ibu adalah ibu yang tidak mau
menyusui anaknya (artinya seburuk-buruk pemimpin adalah pemimpin yang
tidak memerhatikan kepentingan rakyat). (Riwayat Bukhari dan Nasa’i).
Ikhwah
fillah, tulisan ini lahir dari sebuah perenungan Asy Syahid, tentang
cobaan dakwah yang akan senantiasa melingkupi tiap diri kita. Sebuah
diri yang menasbihkan semata-mata mengabdikan hidup kepada Allahuta'ala
meski kemenangan seakan-akan sudah di depan mata.
Dalam surat wasiat [1] untuk adiknya, Aminah Quthub, Asy Syahid Sayyid Quthb Rahimakumullah menulis :
“Sulit
bagi saya membayangkan bagaimana mungkin kita akan sampai pada tujuan
mulia dengan menggunakan wasilah (alat bantu/perantaraan) yang kotor.
Tujuan yang mulia hanya akan hidup di dalam hati nurani yang mulia pula.
Karenanya, bagaimana mungkin nurani yang mulia itu mau menggunakan
wasilah busuk lagi kotor. Atau –yang lebih ironis lagi- bahkan
mendambakan hidayah dan pertolongan Allah melalui wasilah busuk itu ?
Ketika
kita telah tersesat dalam sebuah penyimpangan, sebagai dampak dari
lumpur kesalahan yang kita lalui, maka tidak terelakkan lagi kita pasti
akan berada dalam penyelewengan yang sangat kotor. Karena jalan yang
penuh dengan lumpur pasti akan meninggalkan bekas kotor pada kaki
orang-orang yang melewatinya. Demikian pula halnya dengan wasilah yang
kotor, pastilah akan menimbulkan noda hitam yang akan terus menempel dan
meninggalkan bekas kekotoran pada jiwa kita serta pada tujuan yang akan
kita capai”.
Dalam Tafsir Fi Dzilalil Qur’an, menjelaskan surah Al Hajj ayat 52, yang artinya
“Dan
Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun dan tidak (pula)
seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitan
pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu. Allah menghilangkan
apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-
Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS Al Hajj 52)
Sayyid Quthub Rahimakumullah mengatakan :
“Panasnya
pergolakan dan kecamuk pertarungan telah mendorong para aktifis dakwah
sepeninggal Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam untuk terus merupaya
menegakkan Risalah ini. Namun di sisi lain tidak sedikit dari mereka
yang kemudian mengambil jalan pintas dengan menggunakan berbagai
wasilah, strategi dan metode yang melenceng dari kaidah dan manhaj
dakwah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Hal itu tidak lain
disebabkan oleh ketergesa-gesaan dan ketidak sabaran untuk segera
memperoleh kemenangan dan keberhasilan dakwah mereka.
Jalan pintas itu adalah hasil
ijtihad mereka atas apa yang mereka sebut dengan “mashlahat dakwah”.
Padahal yang dimaksud dengan mashlahat dakwah yang sebenarnya adalah
sikap istiqomah dari para pengemban amanah dakwah agar senantiasa berada
di atas manhaj dakwah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah
Shollallohu 'alaihi wasallam tanpa sedikit pun tergoda untuk berpaling
darinya walau selangkah pun. Adapun hasil akhir dari dakwah adalah
perkara ghaib yang tidak ada satupun yang tahu kecuali Allah Azza Wa
Jalla wa Jalla.
Dengan
demikian tidak selayaknya bagi para aktifis dakwah menjadikan hasil
akhir sebagai tolok ukur dan tujuan utama dakwah mereka. Kewajiban
mereka hanyalah menegakkan dakwah di atas manhaj yang lurus dan bersih
dari berbagai penyimpangan, seraya bertawakkal dan menyerahkan seluruh
hasil usaha yang telah dilakukan dengan penuh istiqomah kepada Allah
Azza Wa Jalla wa Jalla. Jika ini telah dilakukan, niscaya kebaikan lah
yang akan diperoleh, apapun hasil yang dicapai.
Ayat
di atas mengingatkanmereka bahwa syaitan tidak akan pernah berhenti
menghembuskan tipu daya dan godaan-godaannya terhadap para aktifis
dakwah. Allah telah melindungi para Rasul dan nabi yang ma’shum sehingga
mereka mampu membebaskan diri dari setiap tipu daya syaitan dan tetap
istiqomah pada manhaj dakwah yang lurus. Namun tidak demikian halnya
dengan para aktifis dakwah setelah mereka. Karena itu sudah seyogyanya
bagi setiap aktifis dakwah agar berhati-hati dan waspada terhadap
godaan syaitan ini dan tidak memberi kesempatan sedikit pun kepada
syaitan untuk menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan disebabkan oleh
besarnya keinginan untuk segera mencapai keberhasilan dakwah dan
memberikan “mashlahat” bagi umat Islam.
Tidak
ada jalan lain, kalimat “mashlahat dakwah” harus dibuang jauh-jauh dari
kamus para aktifis dakwah, karena ia telah memalingkan mereka dari
tujuan dakwah yang mulia dan menjadi pintu masuk syaitan untuk
menyesatkan mereka setelah gagal menjerumuskan mereka melalui pintu
mashlahat pribadi.
Lebih lanjut Sayyid Quthb menambahkan :
“Mashlahat
dakwah” telah menjelma menjadi berhala, Ilaah yang diibadahi oleh para
aktifis dakwah dan menjadikan mereka melupakan manhaj dakwah Rasul yang
murni dan orisinal. Karena itu, wajib bagi setiap aktifis dakwah untuk
tetap istiqomah di atas manhaj Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam
serta dengan sekuat tenaga menjaga agar tidak tergoda oleh segala bujuk
rayu yang pada akhirnya justru akan menghancurkan bangunan dakwah yang
telah mereka bina.
Ketahuilah
bahwa satu-satunya bahaya yang harus terus diwaspadai oleh para
aktifis dakwah adalah penyimpangan dari manhaj dakwah Rasulullah
Shollallohu 'alaihi wasallam dengan alasan apapun, sekecil apapun
penyimpangan itu.
Karena sesungguhnya Allah lah yang
lebih Mengetahui tentang mashlahat dibandingkan mereka. Sedangkan
mereka tidak dibebani sama sekali untuk mewujudkan mashlahat itu. Mereka
hanya diwajibkan atas satu hal saja: “agar tidak menyimpang sedikit pun
dari Manhaj Rasulullah Shollallohu 'alaihi wasallam dan tidak menyerah
kalah lalu meninggalkan jalan dakwah yang penuh berkah ini “ . [2]
Inilah esensi kemenangan sejati. Kemenangan yang hanya bersandar kepada manhaj kenabian. Kemenangan
yang terbebas dari pencampuran antara kepentingan dunia dan akhirat
meski hidup penuh onak dan duri. Inilah ciri generasi rabbani sejati ya
ikhwah. Seperti bagaimana Asy Syahid menjelaskannya di bab-bab terakhir
dari kitab monumentalnya, Ma'alim fiththariqh.
Sesungguhnya
nilai yang paling berharga di dalam neraca Allah Ta’ala adalah nilai
aqidah. Sesuatu yang paling laris dalam perniagaan Allah adalah iman.
Kemenangan yang paling bernilai di sisi Allah ialah kemenangan ruh atas
kebendaan, kemenangan aqidah menghadapi sakit dan sengsara, kemenangan
iman menempuh badai fitnah dan ujian.
Di
dalam kisah pembunuhan beramai-ramai di dalam parit api (Ashabul
Uhdud), yang kita perbincangkan ini, nyata sekali kemenangan orang-orang
beriman itu mengalahkan perasaan takut dan sakit. Kemenangan mengatasi
godaan-godaan duniawi, kemenangan menghadapi fitnah, kemenangan
kehormatan dan harga diri umat manusia di sepanjang zaman. Inilah
kemenangan sejati !”. [3]
[1] Wasiat ini pertama kali dirilis oleh Majalah Al Fikr Tunisia edisi VI Maret 1959 dengan judul “Cahaya dari Kejauhan”.
[2] Tafsir Fi Dzilalil Qur’an Juz 4 halaman 2435, Al Qoul An Nafiis Fit Tahdzir Min Khodi’ati Iblis (Mashlahah Da’wah) karangan Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisi halaman 60 - 61
NB:
Wasiat-wasiat dari tulisan Asy Syahid Sayyid Quthb dicopy dari
penggalan Tulisan Ustadz Fuad Hazmy dengan judul "Tuhan Baru Itu Bernama
"Maslahat Dakwah".
Berhala Modern Itu Bernama Nasionalisme
Ada sebuah ayat di dalam Al-Qur’an yang mengisyaratkan bahwa suatu masyarakat sengaja menjadikan "berhala" tertentu sebagai perekat hubungan antara satu individu dengan individu lainnya. Sedemikian rupa "berhala" itu diagungkan sehingga para anggota masyarakat yang "menyembahnya" merasakan tumbuhnya semacam "kasih-sayang" di antara mereka satu sama lain. Suatu bentuk kasih-sayang yang bersifat artifisial dan temduaporer. Ia bukan kasih-sayang yang sejati apalagi abadi. Gambaran mengenai berhala pencipta kasih-sayang palsu ini dijelaskan berkenaan dengan kisah Nabiyullah Ibrahim ’alaihis-salam.
وَقَالَ إِنَّمَا اتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا مَوَدَّةَ بَيْنِكُمْفِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ وَيَلْعَنُبَعْضُكُمْ بَعْضًا وَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
Dan berkata Ibrahim ’alaihis-salam, "Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu melaknati sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun." (QS. Al-Ankabut [29] : 25)
Berhala-berhala di zaman dahulu adalah berupa patung-patung yang disembah dan dijadikan sebab bersatunya mereka yang sama2 menyembah berhala patung itu padahal berhala itu merupakan produk bikinan manusia. Di zaman modern sekarang "berhala" bisa berupa aneka isme/ideologi/falsafah/jalan hidup/way of life/sistem hidup/pandangan hidup produk bikinan manusia. Manusia di zaman sekarang juga "menyembah" berhala-berhala modern tersebut dan mereka menjadikannya sebagai "pemersatu" di antara aneka individu dan kelompok di dalam masyarakat. Berhala modern itu menciptakan semacam persatuan dan kasih-sayang yang berlaku sebatas kehidupan mereka di dunia saja. Berhala modern itu bisa memiliki nama yang beraneka-ragam. Tapi apapun namanya, satu hal yang pasti bahwa ia semua merupakan produk fikiran terbatas manusia. Ia bisa bernama Komunisme, Sosialisme, Kapitalisme, Liberalisme, Nasionalisme atau apapun selain itu.
Semenjak runtuhnya tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara ummat Islam 85 tahun yang lalu bangsa-bangsa Muslim di segenap penjuru dunia mulai menjalani kehidupan sosialberlandaskan sebuah faham yang sesungguhnya asing bagi mereka. Faham itu bernama Nasionalisme. KetikaKhilafah Islamiyyah masih tegak dan menaungi kehidupan sosial ummat, mereka menghayati bahwa hanya aqidah Islam Laa ilaha illa Allah sajalah yang mempersatukan mereka satu sama lain. Hanya aqidah inilah yang menyebabkan meleburnya sahabat Abu Bakar yang Arab dengan Salman yang berasal dari Persia dengan Bilal yang orang Ethiopia dengan Shuhaib yang berasal dari bangsa Romawi. Mereka menjalin al-ukhuwwah wal mahabbah(persaudaraan dan kasih sayang) yang menembus batas-batas suku, bangsa, warna kulit, asal tanah-air dan bahasa. Dan yang lebih penting lagi bahwa ikatan persatuan dan kesatuan yang mereka jalin menembus batas dimensi waktu sehingga tidak hanya berlaku selagi mereka masih di dunia semata, melainkan jauh sampai kehidupan di akhirat kelak.Mengapa? Karena ikatan mereka berlandaskan perlombaan meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Hidup lagi Maha Abadi.
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
”Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf [43] : 67)
Orang-orang beriman tidak ingin menjalin pertemanan yang sebatas akrab di dunia namun di akhirat kemudian menjadi musuh satu sama lain. Oleh karenanya, mereka tidak akan pernah mau mengorbankan aqidahnya yang mereka yakini akan menimbulkan kasih-sayang hakiki dan abadi. Sesaatpun mereka tidak akan mau menggadaikan aqidahnya dengan faham atau ideologi selainnya. Sebab aqidah Islam merupakan pemersatu yang datang dan dijamin oleh Penciptanya pasti akan mewujudkan kehidupan berjamaah sejati dan tidak bakal mengantarkan kepada perpecahan dan bercerai-berainya jamaah tersebut.
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
”Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dalam jamaah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali-Imran [3] : 103)
Sewaktu ummat Islam hidup di bawah naungan Syariat Allah dalam tatanan Khilafah Islamiyyah mereka tidak mengenal bentuk ikatan kehidupan sosial selain Al-Islam. Mereka tidak pernah membangga-banggakan perbedaan suku dan bangsa satu sama lain.
Betapapun realitas suku dan bangsa memang tetap wujud, tetapi ia tidak pernah mengalahkan kuatnya ikatan aqidah di dalam masyarakat. Sedangkan setelah masing-masing negeri kaum muslimin mengikuti jejak langkah Republik Turki Modern Sekuler, maka mulailah mereka mengekor kepada dunia barat yang hidup dengan membanggakan Nasionalisme masing-masing bangsa. Padahal bangsa-bangsa Barat tidak pernah benar-benar berhasil membangun soliditas sosial melalui man-made ideologytersebut. Akhirnya bangsa-bangsa Muslim mulai sibuk mencari-cari identitas Nasionalisme-nya masing-masing. Mulailah orang Indonesia lebih bangga dengan ke-Indonesiaannya daripada ke-Islamannya. Bangsa Mesir bangga dengan ke-Mesirannya. Bangsa Saudi bangga dengan ke-Saudiannya. Bangsa Turki bangga dengan ke-Turkiannya. Lalu perlahan tapi pasti kebanggaan akan Islam sebagai perekat hakiki dan abadi kian tahun kian meluntur.
Sehingga di dalam kitab Fi Zhilalil Qur’an Asy-Syahid Sayyid Qutb rahimahullah menulis komentar mengenai surah Al-Ankabut ayat 25 di atas sebagai berikut:
Ia (Ibrahim) ’alaihis-salam berkata kepada mereka (kaumnya), “Kalian menjadikan berhala-berhala sebagai sesembahan selain Allah, yang kalian lakukan bukan karena kalian mempercayai dan meyakini berhaknya berhala-berhala itu untuk disembah. Namun, itu kalian lakukan karena basa-basi kalian satu sama lain, dan karena keinginan untuk menjaga hubungan baik kalian satu sama lain, untuk menyembah berhala ini. Sehingga, seorang teman tak ingin meninggalkan sesembahan temannya (ketika kebenaran tampak baginya) semata karena untuk menjaga hubungan baik di antara mereka, dengan mengorbankan kebenaran dan akidah!”
Hal ini terjadi di tengah masyarakat yang tak menjadikan akidah dengan serius. Sehingga, mereka saling berusaha menyenangkan temannya dengan mengorbankan akidahnya, dan melihat masalah akidah itu sebagai sesuatu yang lebih rendah dibandingkan jika ia harus kehilangan teman! Ini adalah keseriusan yang benar-benar serius. Keseriusan yang tak menerima peremehan, santai, atau basa-basi.
Kemudian Ibrahim’alaihis-salam menyingkapkan kepada mereka lembaran mereka di akhirat. Hubungan sesama teman yang mereka amat takut jika terganggu karena akidah, dan yang membuat mereka terpaksa menyembah berhala karena untuk menjaga hubungan itu, ternyata di akhirat menjadi permusuhan, saling kecam, dan perpecahan.
”...Kemudian di hari Kiamat sebagian kamu mengingkari sebagian (yang lain) dan sebagian kamu melaknati sebagian (yang lain)....”
Hari ketika para pengikut mengingkari orang-orang yang diikutinya, orang-orang yang dibeking mengkafirkan orang-orang yang membekingnya, setiap kelompok menuduh temannya sebagai pihak yang menyesatkannya, dan setiap orang yang sesat melaknat teman yang menyesatkannya!
Kemudian kekafiran dan saling melaknat itu tak bermanfaat sama sekali, serta tak dapat menghalangi azab bagi siapapun.
”...Dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolong pun.”
Mereka (kaumnya Nabi Ibrahim ’alaihis-salam) pernah menggunakan api untuk membakar Ibrahim ’alaihis-salam, tapi Allah kemudian membela dan menyelamatkan Ibrahim ’alaihis-salam dari api itu. Sementara mereka tak ada yang dapat menolong mereka dan tak ada keselamatan bagi mereka!
Saudaraku, marilah kita tinggalkan segala bentuk “berhala modern” yang sadar ataupun tidak selama ini kita “sembah”. Kita jadikan faham selain Islam sebagai sebuah perekat antara satu sama lain, padahal persatuan dan kasih-sayang yang dihasilkannya hanya bersifat fatamorgana. Marilah hanya AL-ISLAM yang kita jadikan "faktor pemersatu" yang pasti terjamin akan mempersatukan kita di dunia dan di akhirat. Al-Islam bukan produk manusia melainkan produk Allah Yang Maha Tahu dan Maha Sempurna pengetahuannya.
Sedemikian hebatnya pengaruh Nasionalisme sehingga sebagian orang yang mengaku berjuang untuk kepentingan ummat-pun takluk di bawah ideologi buatan manusia yang satu ini. Betapa ironisnya perjuangan para politisi Islam tatkala mereka rela untuk menunjukkan inkonsistensi-nya di hadapan seluruh ummat demi meraih penerimaan dari fihak lain yang jelas-jelas mengusung Nasionalisme. Seolah kelompok yang mengusung ideologi Islam harus siap mengorbankan apapun demi mendapatkan keridhaan kelompok yang mengusung Nasionalisme. Seolah memelihara persatuan dan soliditas berlandaskan Nasionalisme jauh lebih penting dan utama daripada mewujudkan al-ukhuwwah wal mahabbah (persaudaraan dan kasih sayang) berlandaskan aqidah Islam.
Sedemikian dalamnya faham Nasionalisme telah merasuk ke dalam hati sebagian orang yang mengaku memperjuangkan aspirasi politik Islam sehingga rela mengatakan bahwa”Isyu penegakkan Syariat Islam merupakan isyu yang sudah usang dan tidak relevan.” Tidakkah para politisi ini menyadari bahwa ucapan mereka seperti ini bisa menyebabkan rontoknya eksistensi Syahadatain di dalam dirinya? Dengan kata lain ucapannya telah mengundang virus ke-murtad-an kepada si pengucapnya. Wa na’udzubillahi min dzaalika.
Sebagian orang berdalih bahwa jika kita mengusung syiar ”Penegakkan Syariat Islam” lalu bagaimana dengan nasib orang-orang di luar Islam? Saudaraku, disinilah tugas kita orang-orang beriman untuk mempromosikan Islam sebagai "faktor pemersatu" yg bersifat Rahmatan lil 'aalamiin. Tidakkah terasa aneh bila "mereka" bisa dan boleh dibiarkan mendikte aneka isme/ideologi/falsafah/jalan hidup/way of life/sistem hidup/pandangan hidup produk bikinan manusia kepada kita umat Islam, sedangkan kita umat Islam tidak mampu —bahkan kadang tidak mau— mempromosikan (baca: berda'wah) menyebarluaskan ajaran Allah kepada "mereka"? Wallahua'lam.-
وَلَا تُؤْمِنُوا إِلَّا لِمَنْ تَبِعَ دِينَكُمْ قُلْ إِنَّ الْهُدَى هُدَى اللَّهِأَنْ يُؤْتَى أَحَدٌ مِثْلَ مَا أُوتِيتُمْ أَوْ يُحَاجُّوكُمْ عِنْدَ رَبِّكُمْ
Dan Janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti agamamu. Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah, dan (janganlah kamu percaya) bahwa akan diberikan kepada seseorang seperti apa yang diberikan kepadamu, dan (jangan pula kamu percaya) bahwa mereka akan mengalahkan hujjahmu di sisi Tuhanmu."(QS. Ali-Imran [3] : 73)
Wallahua'lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar